Mini Autobiografi
“Life for freedom and let the people free, because
world is OUR own, not MINE or YOURS.”
Manusia
tercipta dengan potensi yang sama, hanya saja orang yang lebih maju
memanfaatkan potensi mereka secara potensial..
JIBRILIANTIN
AGNI AFTONNISA, nama yang tertera dalam akte kelahiran, ijazah, KTP milik saya.
Nama tersebut lahir dari pemikiran seorang Ayah bernama Aa Hikmat serta
pendamping hidup setianya Yulia Herlina. Sedikit bersyukur nama ini tidak
pasaran di kalangan manusia dan sedikit terbebani juga karena nama ini masyhur
di kalangan malaikat (paling tidak sering berada di posisi pertama dalam list
nama-nama malaikat yang dipelajari manusia). Hal yang tidak saya ingat ialah saat-saat saya
dilahirkan, tapi menurut My Mom, saya lahir tanggal 20 Oktober 1991 di
Karawang. Mungkin ini salah satu fungsi orang tua; ‘mengingatkan anaknya apa
yang tidak diingatnya’. Masa kecil
dihabiskan di Karawang, tapi menjelang saya masuk TK, kami sekeluarga pindah ke
Garut karena alasan pekerjaan orang tua. Mirip dengan konsep hijrah Nabi yang
hijrah dari Mekah (tempatnya orang jahiiyah) ke Madinah (tempat di mana Nabi
bisa membangun peradaban Islam yang lebih baik), keluarga saya juga pindah dari
Karawang (pusatnya saweran sinden goyang karawang) ke Garut (Insyaallah tempat
yang lebih baik). My Dad sering berkata “kalo terus di Karawang bisa-bisa kamu
jadi sinden, buktinya di Garut sekarang kamu jadi santri”. Saya percaya bahwa
setiap manusia harus berpindah menjadi pribadi yang lebih baik agar bisa
kembali pada yang Maha Baik.
SD
Kota Kulon 1 merupakan tempat saya menghabiskan 6 tahun masa kecil saya.
Berkesan sekali karena justru diri saya yang sejati tergambar dalam potret masa
kecil anak SD karena anak kecil tidak pernah berusaha menjadi orang lain tetapi
selalu menjadi dirinya sendiri, sifat polos, ingin tahu, nakal, menangis depan
umum, bertengkar dengan teman namun satu jam kemudian bermain bersama lagi,
semua perbuatannya adalah pancaran dirinya, pure
face.. without mask!. Seingat saya prestasi akademik periode Sekolah Dasar
terbilang buruk. Ketika kelas 1 hingga kelas 3 SD, saya selalu menjadi murid
dengan peringkat 3 besar tiap semesternya. Menginjak kelas 4 prestasi saya menurun
drastis, saya masuk peringkat 15 besar kemudian dari kelas 5 hingga 6 masuk
peringkat 10 besar. Saya juga tidak begitu mengerti mengapa presatasi saya bisa
menurun seperti itu, yang saya ingat memang ketika kelas 1-3 SD, saya merupakan
anak yang sangat disenangi oleh teman-teman, rajin, ikhlas, tidak banyak
bicara, dsb.
Setelah
kelulusan SD saya memutuskan melanjutkan pendidikan ke Pesantren Darul Arqam,
kebetulan kakak saya, Marella juga bersekolah di sana. Karena pada hakikatnya
saya merupakan orang yang sulit bersosialisasi dengan orang yang baru kenal,
pertama kali masuk DA (nickname
pesantren) saya kesulitan mendapat teman dekat padahal orang-orang di sana
semuanya ramah, hanya saja saya yang terlalu membentengi diri. Tapi lama
kelamaan saya bisa menjadi dekat dengan mereka bahkan sangat dekat seperti
saudara..
Tiga tahun di DA sudah
terlewati, entah mengapa saya tidak keberatan untuk melanjutkan jenjang Aliyah
di DA tercinta. Walaupun kehidupan di DA kami lewati dengan keluh kesah karena
kangen rumah, peraturan yang ketat, setiap hari harus bangun di subuh hari yang
dingin, sekolah subuh dan selesai di malam hari, tapi kami menjalaninya dengan
ikhlas dan gembira karena kami menjalaninya bersama-sama. Pada akhirnya saya
menghabiskan 6 tahun berkesan dan berharga di DA. Sedih rasanya harus berpisah
dengan teman terhebat yang pernah saya miliki. But life must go on somehow…
Masa-masa
pencarian universitas merupakan bulan yang paling menyedihkan dalam pengalaman
saya. Saya terombang-ambing dalam berbagai pertimbangan di antara sejumlah list
perguruan tinggi yang semuanya memuakkan. Saya filter menjadi universitas yang
menyediakan program beasiswa saja. Ketika itu niat saya adalah kuliah tanpa
dibiayai orang tua, namun dari sekian program beasiswa yang diikuti tak ada
satupun yang berhasil ditembus. Dan akhirnya dengan berat hati saya masuk UIN
Sunan Gunung Djati Bandung. Jujur saya
mewek-mewek
di minggu-minggu pertama perkuliahan di kampus UIN. Tapi beruntungnya,
teman-teman di UIN merupakan teman yang baik-baik tidak individualis seperti di
kampus-kampus biasanya. Saya juga terbantu dengan tinggal di kosan bersama
teman dari DA.
Inna ma’al ‘usri yusro..
Pertama
masuk kuliah saya memutuskan untuk menjadi orang yang tidak banyak bicara.
Hingga kini di kampus, saya termasuk orang yang lebih senang diam, berbeda
dengan ketika saya bergaul dengan teman DA dan keluarga. Bukannya saya
memarjinalkan teman di kampus, tapi saya hanya ingin menjadi lebih dewasa dalam
menyikapi pergaulan dan lebih berhati-hati dalam berbicara, setidaknya sekarang
saya termasuk mahasiswi dengan prestasi akademik yang lumayan di kelas.
Karena saya
menjalani perkuliahan dengan santai dan kebetulan juga saya tidak tertarik
dengan organisasi kampus, saya memiliki banyak waktu luang untuk merenungi
kehidupan saya. Merasa kurang sreg di
UIN, saya mencoba apply ke universitas
lain jalur beasiswa tapi gagal. Kemudian karena sejak dahulu memang ingin pergi
ke luar negri, bukan berarti saya menganggap rumput tetangga lebih hijau, tapi
logikanya bagaimana saya bisa tahu bahwa rumput saya hijau jika saya tidak
pernah melihat rumput milik tetangga seperti apa, maka pada semester 3 kemarin
saya mencoba apply program short courses ke Maroko dan ini
merupakan kegagalan kedua untuk program luar negri setelah dulu gagal masuk
program beasiswa ke Malaysia. Program Maroko ini yang paling membuat saya
miris, bahkan sempat marah pada Tuhan karena tidak pernah menggapai tangan saya
untuk sekali saja dalam hidup saya. Saya merasa sudah cukup maksimal ketika apply ke Maroko, selain karena essay
saya jauh lebih baik dari essay/konsep untuk program beasiswa sebelumnya yang
sudah saya review kembali, namun pada
akhirnya tetap gagal.
Mau
tidak mau saya melanjutkan hidup di UIN, masih belum mencoba menyibukkan diri
dalam organisasi kampus, paling-paling organisasi yang ditekuni sampai sekarang
ialah Peace Generation. Ukuran ideal organisasi yang saya inginkan memang
seperti itu, penuh dengan perbedaan (karena pesertanya lintas kota, lintas
agama bahkan dari lintas negara), open
minded adalah kunci masuk program ini, setidaknya dari organisasi ini saya
belajar mencintai perbedaan, menghargai hidup orang lain sebagaimana hidup kita
ingin dihargai, tidak pernah menilai seseorang dari luarannya, dan yang paling
penting menciptakan dunia yang penuh kedamaian, aman, nyaman, hangat, kemanapun
dan kapanpun kita dapat melangkahkan kaki kita tanpa ragu sedikitpun.
Sampai
saat ini saya belum menemukan jati diri serta pola hidup ideal yang diinginkan.
Tapi kemarin saya baru saja mengalami awal titik nadir dalam hidup saya, yang
akhirnya membuat saya bertambah yakin akan Tuhan, yakin akan Rasul-Nya, yakin
akan kekuatan hebat manusia yang tertanam dalam diri mereka, yakin bahwa setiap manusia berhak dihargai dan
wajib menghargai sesamanya.
Nowadays...
I’m still searching to find out the real
Me!
Try to living my life enjoy and happy.. let my mind to be widely opened.. seeking advice and valuable moment from
everyone I met, learn from everything that I’ve done both wrong and right..
looking for something new, new experience, new people, new excitement, newest
news, and knew everything that’s happens in all over the world.
Hope God always blessed us whenever and
wherever we are.
Bandung, Februari 2012
With regards,
Jebe,
-a brand new world seeker